BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Guru merupakan
salah satu tombak dalam keberlangsungan proses belajar mengajar, aktifitas
belajar mengajar tidak mungkin berlangsung secara sempurna tanpa kehadirannya. Guru
adalah pahlawan tanpa tanda jasa itulah pepatah mengatakan. Peran penting
seorang guru dalam proses belajar mengajar menjadikannya disegani dan di
ta’dzimi oleh para peserta didiknya, bukan hanya itu segala petuah dan
tingkahlakunya merupakan cerminan bagi semua peserta didiknya karena keagungan
dan sikap berwibawa yang selalu diaplikasikannya, meski dengan imbalan yang
sangat tidak memuaskan bahkan terkadang tidak sama sekali, namun tidak membuat
goyah hati nurani seorang guru untuk tetap mentransformasikan ilmu pengetahuan
demi memberantas kebodohan dan dengan niat tulus untuk mendidik dan mengajar
peserta didiknya, kondisi inilah yang tergambar saat itu sehingga jarang sekali
yang berminat untuk menekuni profesi ini.
Guru memiliki
peranan penting dalam proses belajar mengajar selain sebagai Transformer Of
Knowledge, fasilitator, guru pun dituntut untuk menyesuaikan sikap dan
kepribadiannya dimata masyarakat terutama di mata peserta didiknya, karena bagaimanapun sosok guru
masih tercermin dengan sikap yang di gugu dan ditiru, baik dalam segi sikap
maupun tutur katanya, dan oleh sebab itulah dari dulu hingga sekarang factor
kepribadian guru merupakan salah satu kompetensi yang harus dimilikinya. Peran
penting seorang guru dalam mencetak peserta didiknya sesuai dengan tujuan
hidupnya merupakan salah satu tugas utama bagi seorang guru.
B.
Rumusan Masalah
Berikut ini adalah rumusan masalah yang dapat diambil dari latar
belakang tersebut di atas:
1.
Macam-Macam
Pendidik Masa klasik
2.
Karakteristik
Pendidik
3.
Funsi
Pendidik
4.
Gaji
Pendidik
5.
Perubahan
Pendidik
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Macam-Macam
Pendidik
Pendidik
ada beberapa macam diantaranya; ustadz, mudarris, mu’allim dan mu’addib.
1. Ustadz
dan Mudarris
Ustadz berarti guru, professor,gelar
akademik, jenjang dibidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair.[1] Kata al-Mudaris berarti
teacher (guru), sama dengan instruktur (pelatih), dan lecture (dosen).[2]
Sama halnya dengan muaddib, guru-guru di
madrasah-madrasah dan masjid-masjid juga mendapatkan penghormatan yang tinggi
di mata masyarakat, karena guru merupkan lampu penerang bagi masyarakat
setempat, kedudukan ulama ibarat lampu penyinar bagi kerajaan, bahkan Abdul
Aswad Ad Duali pernah berkata tidak ada sesuatu apapun yang lebih mulia dari
ilmu pngetahuan, raja-raja adalah penguasa atas rakyat dan ulama adalah
penguasa atas raja-raja. Masih banyak lagi riwayat yang menerangkan tingginya
kedudukan para guru dan ulama di mata masyarakat. Riwayat-riwayat yang
digambarkan menunjukkan betapa tingginya kedudukan para ulama di hati masyarkat
luas pada masa itu.[3]
Guru-guru dari golongan ini telah
beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tunggi di hadapan
masyarakat. Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan yang
begiitu mendalam (rasikh) dan
berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti,
dan sebagainya. Banyak para guru yang dibunuh pada masa khalifah Abdul Malik
ibnu Marwan, karena menganut paham Khawarij. Namun, ada beberapa guru yang
berhaluan Khawarij selamat dari pembantaian karena ilmu yang ia miliki.[4]
2. M
u’allim
Kata mu’allim juga berarti teacher
(guru), instructor (pelatih, tralrer (pemandu). Pada masa klasik mu’allim
biasanya adalah guru, sekolah kanak-kanak (mu’allim kittab), sejarah
membuktikan bahwa guru yang tidak mempunyai kompetensi dan kualisifikasi
mengajar, menyebabkan kualitas pendidikan, menjadi tidak bermutu dan tidak
diperhatikan oleh masyarakat bahkan masyrakat kurang dapat menghargai kepada
guru sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Hal ini sebagaimana
pernah terjadi pada masa klasik, para guru sekolah kanak-kanak (mu’allim kutab)
krang mendapat perhatian dan penghargaan dari masyarakat. Dikarenakan mereka
teledor dalam melaksanakan tugas pendidikan. Mereka memiliki tabiat yang kurang
baik (suka marah), mengajarkan ilmu tidak sesuai dengan informasi yang
semestinya (suka memanipulasi ayat) dan bahkan menjadikan profesi keguruan
sebagai pilihan yang terakhir setelah mereka tidak bisa mencari pekerjaan lain
karena kebodohan mereka.
Beberapa dengan mu’allim kuttab yang
terkesan tidak profesional dan tidak berkompetensi, mu’allim kutab yang
mempunyai kompetensi dan dapat melaksanakan amanat yang diberikan oleh
masyarakat, karenanya dihargai dan dihormati, bahkan mereka dianggap telah
berhasil mengantar anak didiknya mencapai kedudukan dan pangkat yang tinggi.[5]
3. Mu’addib
(guru istana)
guru istana dinamakan mu’addib. Tujun
pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan mu’addib harus
mendidik kecerdasan hati dan jasmani anak.[6] Mu’addib ini mulai muncul
pada masa Umayyah. Menjadi mu’addib bagi putra-putra raja adalah suatau pekerjaan yang terhormat yang
mendatangkan keuntungan moril dan materil bagi orang-orang yang melakukannya,
karena mereka di pandang sebagai pembimbing raja dan pemelihara kerajaan.
Perhatian para raja terhadap muaddib
karena sesuai dengan tugas mereka mendidik dan membimbing putra mahkota,
menjadikan status social mereka tinggi di mata masyarakat, bahkan terkadang
nama muaddib di sandangkan atau di tambahkan dengan gelar keturunan kerajaan.
Memang tidak semua orang berminat untuk menjadi mu’addib dengan alasan takut
tergiur dengan materi duniawi (zuhud dan wara) seperti Al-Chalil Ibnu Ahmad.
Diantara muaddib yang terkenal adalah Adlahhak Ibnu Muzahim ‘Amir Asy-Sjabi
(pendidik putra-putra Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan), Muhammad Ibnu Muslim
Az Zuhri (pendidik Ibnu Hisyam Ibnu ‘Abdil Malik), Abdus Shomad Ibnu ’Abdil
A’la (pendidik Al-Walid Ibnu Zaid), dan masih banyak lagi.
Taraf ekonomi muaddib sangatlah
makmur dan tercukupi baik bagi dirinya maupun untuk menopang keluarganya selain
gaji pokok yang di terimanaya muaddib juga banyak yang diberikan tempat
tinggal, bintang ternak, pelayan, budak dan lain sebagainya sehingga taraf
ekonominya terjamin dan terpenuhi, menurut riwayat yang ada rata-rata gaji
muaddib sebulannya itu berjumlah seribu dirham.[7]
4. Murrabi
Pada era klasik ada juga pendidik yang
disebut dengan murrabi. Murrabi ini lebih cenderung pada guru yang mengemban
amanat yang diberikan oleh masyarakat guna melaksanakan fungsi pendidikan.
Pemberian amanat masyarakat tersebut tidak hanya berorientasi pada transformasi
ilmu pengetahuan (menghafal beberapa materi pelajaran), tetapi juga sebagai murabbi dan sebagai dinamisator masyarakat.
Sebagai murabbi ia bertanggungjawab memantau perkembangan kepribaadian anak
dari segala dimensinya sedangkan sebagai dinamisator masyarakat ia
bertanggungjawab memberikan pelajaran yang baik, membangkitkan merekaa dan
mengangkat derajat mereka kearah yang lebih baik.[8]
B.
Karakteristik
Pendidik
Abdurrahman Al-Nahwawi menyarankan agar
guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, ia harus memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Tingkah
laku dan pola pikir guru bersifat rabbani, hal ini sebagaimana telah
dijelaskan dalam surat al-Imran ayat 79. Jika guru telah memiliki, sifat rabbani,
maka tujuan pendidikan menjadi optimal karena guru dapat mengantarkan anak
didiknya mencapai ketaatan yang lahir dari pproses pembentukan kesadaran.
2. Guru
harus ikhlas.
3. Guru
sabar dalam mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada anak-anak.
4. Guru
jujur dalam menyampaikan apa yang diserukannya.
5. Guru
senantiasa membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan dan bersedia untuk
meningkatkan kualitas pribadinya.
6. Guru
mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi dan mampu memilih
metode sesuai dengan kebutuhan anak.
7. Guru
mampu mengelola siswa, tegas bertidnak serta meletakan berbagai permasalahan secara
profesional.
8. Guru
mempelajari kehidupan psikis anak selaras dengan tingkat usia perkembangannya,
sehingga ia dapat memperlakukan siswa, sesuai dengan kemampuan akal dan
kesiapan psikis mereka.
9. Guru
tanggap terhadap berbagi kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhin
perkembangan jiwa anak, sehingga ia dapat memahami dan mampu bertindak pada
saat menghadapai berbagai problem akibat modernitas.
Dalam
kitab adap al-Muallim wa al-muta’alim disebutkan
bahwa seroang pendidik harus memiliki 12 sifat sebagai berikut:
1. Tujuan
mengajar adalah untuk mendapatkan kerihdoan Allah ta’ala, bukan untuk tujuan
yang bersifat duniawi, harta, kepangkatan, ketenaran, kemewahan dan lain
sebagainya.
2. Senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan terang terangan dan senantiasa
menjaga rasa takut dalam semua gerak dan diamnya, ucapan dan perbuatanya,
karena dia adalah seorang yang diberi amanat dengan diberikannya ilmu oleh
Allah dan kejernihan panca indra dan penalarannya.
3. Menjaga
kesucian ilmu yang dimilikinya dari perbuatan yang tercela.
4. Berakhlak
dengan sifat zuhud dan tidak berlebih-lebihan dalam urusan duniawi, kona’ah,
dan sederhana.
5. Menjauhkan
diri dari perbuatan yang tercela.
6. Melaksanankan
syariat islam dengan sebaik-baiknya.
7. Melaksanakan
amalan yang disyariatkan.
8. Memelihara
kesucian lahir dan batinnya dari akhlak yang tercela.
9. Senantiasa
semangat dalam menambah ilmu dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
10. Senantiasa
memberikan manfaat kepada siapapun.
11. Aktif
dalam pengumpulan bacaan, mengarang dan menulis buku.[9]
C.
Fungsi
Pendidik
Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang
penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaanya mempunyai andil yang besar
dalam kekuasan khalifah. Hal ini tampaknya tidak terlalu berlebihan, karena
guru terhimpun dalam suatu organisais yang mempunyai power yang dapat mengendalikan kepentingan khalifah, khususnya
dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar disuatu
masjid. Abu Syamah (dalam A. Syalabi 1973: 277), menyatakan “syarikat gurulah
berhak untuk menentukan dan memberikan izin kepada seorang guru untuk menjadi
pengajar di sebuah masjid walaupun khalifah mempunyai kekuasaan. Namun, dalam
hal pemberian izin khalifah meminta pertimbangan dan persetujuan kepada
syariat”.
Sekalipun organisasi guru pada saat itu
belum tertata rapi sedemikian rupa sebagaimana lazimnya sebuah organisasi, tapi
keberadaanya mempunyai andil yang besar dalam sebuah pemerintahan, dan bahkan
organisasi guru dapat dijadikan corong untuk menyebarkan ajar atau aliran oleh
penguasa. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masa Daulah Fatimiyah,
organisasi guru “ Dai Daulah” mampu memainkan peran membantu pemerintah dalam
menyebarkan aliran atau ajaran yang diyakini oleh penguasa pada saat itu. [10]
D.
Gaji
Pendidik
Masa klasik bermula pada masa
Rasulullah. Pada masa Rasulullah penddidikan masih terpusat pada Rasululah, dan
Rasulullah tidak memungut biaya ataupun mendapat gaji atas ilmu yang
diajarkanya. Sejarah menjelaskan kepada kita bahwa pendidik khususnya pada masa
Rasulullah dan para sahabat bukan merupakan profesi atau pekerjaan untuk
menghasilkan uang atau sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupanya, melainkan ia
mengajar, karena panggilan agama, yaitu sebagai upaya mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Mengharapkan keridhoan-Nya, menghidupkan agama, mengembangkan
seruanya, dan menggantikan peranan Rasulullah.[11]
Setelah masa Rasulullah datanglah masa
Khulafa’urrasyidin. Pendidikan masa Abu Bakar as-Shidiq (632-634 M) tidak jauh
berbeda dengan masa Rasulullah,
dengan guru-guru dari
para sahabat terdekat
Rasulullah dan tidak
digaji (Nizar, 2007:45).[12] Pada masa khalifah Umar
guru-guru sudah diangkat dan digaji untuk mrngajar kedaerah-daerah yang baru
ditaklukkan. Akan tetapi pendidik lainya tidak dibayar.
Ketika masa Khulafa’ur Rasyidin
berakhir, Islam diperintahkan oleh Bani Ummayah. Dan Masa Umyyah pendidik
mengalami kemajuan.
Dalam memberikan pelajaran dengan sistem
kuttab pada masa Khulafa’aur Rasyidin gurunya tidak dibayar, akan tetapi pada
Masa Dinasti Umayah lain lagi ceritanya. Pada periode ini berbagai kemajuan
telah diperoleh, termasuk dalam bidang perekonomian.[13]
Dinasti Umayah Diantara mereka ada yang
sukarela melakukan perjalanan jauh untuk mengajarkan ilmu kepada rakyat. Mereka
memilih masjid sebagai tempat yang strategis untuk mengajar dan rakyat pun
meresponnya dengan positif, mereka dengan semangat mengikuti pelajaran yang
sedang diberikan sang guru. Para guru mengajarkan apa saja ilmu yang merektau,
selain itu mereka juga memberi fatwa mengenai apa saja yang dapat diberikannya.
Kegiatan ini tidak termasuk dalam lingkungan kekuasaan dan campur tangan
pemerintah, selama guru-guru tidak ditunjuk dan di angkat oleh pemerintah,
serta tidak mengharapkan gaji dari negara maka mereka bebas melakukan
pengajaran kepada rakyat. [14]
Pendidik Masa Abasiyyah juga demikian. Seluruh
pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut
infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi
kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis
oleh negara. Seperti lembaga pendidikan Nizamiyah yang pernah didirikan pada
masa dinasti Abbasiyah dan lain sebagainya, ditopang oleh subsidi yang berasal
dari hasil pengumpulan zakat harta yang menjadi salah satu ajaran Islam yang
disyari’atkan. Artinya kondisi yang demikian itu memang menuntut untuk
mengalokasikan dana khusus dari baitul mal untuk kepentingan pendidikan.[15]
Para pendidik sudah mendapat gaji dari
Pemerintah. Akan tetapi, ada juga pendidik biasa yang mendapat gaji dari biaya
muridnya, meskipun bisa berupa barang. Pada Masa keemasan ini, banyak
bermunculan pendidik, yang mana terkadang beberapa diantaranya digaji oleh
pemerintah, ada pula yang dari muridnya, dan bahkan ada juga yang tidak
mendapatkan gaji.
Dalam periode
klasik, hubungan guru dengan murid dikatakan mengesankan. Hubungan guru dan
murid tidak hanya sebatas yang berkaitan dengan transmisi keilmuan dan
pembentukan perilaku si murid. Sangat besar perhatian guru kepada
murid-muridnya. Tak jarang guru menanyakan kepada mereka bila ia melihat salah
satu muridnya tidak mengikuti pelajaran dan bertanya di mana ia harus menjenguk
muridnya jika ia sakit. Lebih dari itu, guru juga sering memberi bantuan kepada
murid-murid yang membutuhkannya.
Pada periode Klasik,
guru bisa meminta gaji dari murid-muridnya. Jumlah gaji terserah kepada setiap
anak didiknya, tergantung kepada kemampuan orang tua si murid. Secara umum gaji
guru dapat dibagi ke dalam dua macam, yaitu gaji yang berhubungan dengan waktu
dengan gaji yang berhubungan dengan pelajaran yang didapat oleh si anak. Bentuk
gaji yang pertama hampir dibayar oleh semua murid, yaitu berupa sejumlah kecil
uang yang dibayarkan setiap minggu atau setiap bulann ditambah sepotong roti
yang diberikan setiap minggu.[16]
E.
Perubahan
Pendidik.
Pendidik masa klasik bermula dari masa
Rasulullah hingga masa keemasan Islam. Masa klasik ini terdapat beberapa
periode. Berikut adalah periode-periode tersebut:
·
Masa hidupnya Nabi
Muhammad SAW(571-623M).
·
Masa hidupnya
Kulafa’urrasyidin (632-661M).
·
Masa hidupnya Daullah
Umayyah di Damsyik (661-750M).
·
Masa hidupnya Daulah
Abbasiyah di Bagdad (750-1250M).
·
Masa Nabi Muhammad
Pendidi dari periode ke periode juga
turut mengalami perubahan. Sistem pedidikan pada masa Rasulullah baik di Mekkah
maupun di madinah masih bertumpu pada Rasullulah. Pada masa itu tidak ada orang
lain yang menentukan, mengatur pendidikan yang disampaikan oleh Rasulullah.
·
Masa Kulafaurasyidin
Pendidikan dan pendidi pada masa khulafaurasyidin sudah
sedikit mengalami perubahan. Jika pada masa Rasullulah pendidikan berumpu pada
Rasulullah saka, maka pendidikan pada masa Khulafa’ur Rasyidin, sahabat-sahabat
lain dan para ulama. Bahkan, pada masa ini Khulafaur Rasyidin mengirim pendidik
atau guru ke kota-kota lain. Guru-guru yang dikirim adalah para ahli tafsir
hadits dan fiqh.
·
Masa Dinasti Umayyah
Pada
masa Dinasti Umayyah pendidik sudah semakin banyak, seriring berkembangnya ilmu
pengetahuan. Banyak para guru dan ulama besar, bahkan pada saat itu dibangun
universitas, sehingga membuka banyak peluang para guru ataupun ilmuwan. Karena
adanya ilmi-ilmu kedokteran, filsafat, astronomi, dll, banyak para guru
(ilmuwan ) yang datang dari ujung timur dan barat dengan membawa buku-buku.
Selain itu masih banyak lagi ilmuwan dan cendekiawan pada masa ini.
·
Masa Dinasti Abbasiyah
Pendidikan
masa Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Pendidik tidak
hanyaa saja berada di kuttab, masjid, ataupun universitas. Tapi pendidik juga
ada di asrama ataupun rumah mereka sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendidik
ada beberapa macam diantaranya; ustadz, mudarris, mu’allim dan mu’addib.
2. Pendidik
harus memiliki karakteristik tertentu.
3. Fungsi
pendidik adalah mentransformasikan ilmu, mendidik, dan membantu kehidupan dalam
masyarakat.
4. Gaji
pendidik masa klasik tidak menjadi prioritas. Akan tetapi gaji diberikan oleh
pemerintahan ataupun murid dengan suka rela.
5. Perkembangan
pendidik selalu berubah seiring dengan berkembang dan berjalannya waktu. Ada
banyak perubahan yang terjadi setiap masannya.
Daftar Pustaka
Abudin
Nata. Sejarah Pendidikan Islam pada
Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Raja Graindo Persada. 2004.
http://cecepassaadatain.wordpress.com/2011/01/27/guru-zaman-islam-klasik/.
Diakses 1 Dec, pukul 14.00 WIB
Samsul
Nizar. Sejarah Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana Prenda Media Group. 2007.
Suwito
dan Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005.
[1] Suwito dan Fauzan, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005),hlm.1.
[2] Suwito., op.cit., hlm.1.
[3] http://cecepassaadatain.wordpress.com/2011/01/27/guru-zaman-islam-klasik/.
Diakses 1 Dec, pukul 14.00 WIB
[4] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan
Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Graindo Persada,
2004), hlm.147-148.
[5] Abudin Nata, op.cit. hlm.142-143.
[6] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007), 61.
[7] http://cecepassaadatain.wordpress.com/2011/01/27/guru-zaman-islam-klasik/,
diakses tanggal 1 desember 2012.
[8] Abudin Nata, op.cit. hlm.,
143.
[9] Suwito dan Fauzan, op.cit.
hlm. 3.
[10] Abudin Nata., op.cit, hlm.
152-153.
[11] Suwito, op.cit. hlm 3.
[13] Sasul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 51-61.