Kamis, 06 Juni 2013

Pendidik Masa Klasik



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Guru merupakan salah satu tombak dalam keberlangsungan proses belajar mengajar, aktifitas belajar mengajar tidak mungkin berlangsung secara sempurna tanpa kehadirannya. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa itulah pepatah mengatakan. Peran penting seorang guru dalam proses belajar mengajar menjadikannya disegani dan di ta’dzimi oleh para peserta didiknya, bukan hanya itu segala petuah dan tingkahlakunya merupakan cerminan bagi semua peserta didiknya karena keagungan dan sikap berwibawa yang selalu diaplikasikannya, meski dengan imbalan yang sangat tidak memuaskan bahkan terkadang tidak sama sekali, namun tidak membuat goyah hati nurani seorang guru untuk tetap mentransformasikan ilmu pengetahuan demi memberantas kebodohan dan dengan niat tulus untuk mendidik dan mengajar peserta didiknya, kondisi inilah yang tergambar saat itu sehingga jarang sekali yang berminat untuk menekuni profesi ini.
Guru memiliki peranan penting dalam proses belajar mengajar selain sebagai Transformer Of Knowledge, fasilitator, guru pun dituntut untuk menyesuaikan sikap dan kepribadiannya dimata masyarakat terutama di mata peserta didiknya, karena bagaimanapun sosok guru masih tercermin dengan sikap yang di gugu dan ditiru, baik dalam segi sikap maupun tutur katanya, dan oleh sebab itulah dari dulu hingga sekarang factor kepribadian guru merupakan salah satu kompetensi yang harus dimilikinya. Peran penting seorang guru dalam mencetak peserta didiknya sesuai dengan tujuan hidupnya merupakan salah satu tugas utama bagi seorang guru.

B.     Rumusan Masalah
Berikut ini adalah rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang tersebut di atas:
1.      Macam-Macam Pendidik Masa klasik
2.      Karakteristik Pendidik
3.      Funsi Pendidik
4.      Gaji Pendidik
5.      Perubahan Pendidik


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Macam-Macam Pendidik
Pendidik ada beberapa macam diantaranya; ustadz, mudarris, mu’allim dan mu’addib.
1.      Ustadz dan Mudarris
Ustadz berarti guru, professor,gelar akademik, jenjang dibidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair.[1] Kata al-Mudaris berarti teacher (guru), sama dengan instruktur (pelatih), dan lecture (dosen).[2]
Sama halnya dengan muaddib, guru-guru di madrasah-madrasah dan masjid-masjid juga mendapatkan penghormatan yang tinggi di mata masyarakat, karena guru merupkan lampu penerang bagi masyarakat setempat, kedudukan ulama ibarat lampu penyinar bagi kerajaan, bahkan Abdul Aswad Ad Duali pernah berkata tidak ada sesuatu apapun yang lebih mulia dari ilmu pngetahuan, raja-raja adalah penguasa atas rakyat dan ulama adalah penguasa atas raja-raja. Masih banyak lagi riwayat yang menerangkan tingginya kedudukan para guru dan ulama di mata masyarakat. Riwayat-riwayat yang digambarkan menunjukkan betapa tingginya kedudukan para ulama di hati masyarkat luas pada masa itu.[3]
Guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tunggi di hadapan masyarakat. Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begiitu mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti, dan sebagainya. Banyak para guru yang dibunuh pada masa khalifah Abdul Malik ibnu Marwan, karena menganut paham Khawarij. Namun, ada beberapa guru yang berhaluan Khawarij selamat dari pembantaian karena ilmu yang ia miliki.[4]


2.      M u’allim
Kata mu’allim juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih, tralrer (pemandu). Pada masa klasik mu’allim biasanya adalah guru, sekolah kanak-kanak (mu’allim kittab), sejarah membuktikan bahwa guru yang tidak mempunyai kompetensi dan kualisifikasi mengajar, menyebabkan kualitas pendidikan, menjadi tidak bermutu dan tidak diperhatikan oleh masyarakat bahkan masyrakat kurang dapat menghargai kepada guru sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada masa klasik, para guru sekolah kanak-kanak (mu’allim kutab) krang mendapat perhatian dan penghargaan dari masyarakat. Dikarenakan mereka teledor dalam melaksanakan tugas pendidikan. Mereka memiliki tabiat yang kurang baik (suka marah), mengajarkan ilmu tidak sesuai dengan informasi yang semestinya (suka memanipulasi ayat) dan bahkan menjadikan profesi keguruan sebagai pilihan yang terakhir setelah mereka tidak bisa mencari pekerjaan lain karena kebodohan mereka.
            Beberapa dengan mu’allim kuttab yang terkesan tidak profesional dan tidak berkompetensi, mu’allim kutab yang mempunyai kompetensi dan dapat melaksanakan amanat yang diberikan oleh masyarakat, karenanya dihargai dan dihormati, bahkan mereka dianggap telah berhasil mengantar anak didiknya mencapai kedudukan dan pangkat yang tinggi.[5]
3.      Mu’addib (guru istana)
guru istana dinamakan mu’addib. Tujun pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan mu’addib harus mendidik kecerdasan hati dan jasmani anak.[6] Mu’addib ini mulai muncul pada masa Umayyah. Menjadi mu’addib bagi putra-putra raja adalah  suatau pekerjaan yang terhormat yang mendatangkan keuntungan moril dan materil bagi orang-orang yang melakukannya, karena mereka di pandang sebagai pembimbing raja dan pemelihara kerajaan.
Perhatian para raja terhadap muaddib karena sesuai dengan tugas mereka mendidik dan membimbing putra mahkota, menjadikan status social mereka tinggi di mata masyarakat, bahkan terkadang nama muaddib di sandangkan atau di tambahkan dengan gelar keturunan kerajaan. Memang tidak semua orang berminat untuk menjadi mu’addib dengan alasan takut tergiur dengan materi duniawi (zuhud dan wara) seperti Al-Chalil Ibnu Ahmad. Diantara muaddib yang terkenal adalah Adlahhak Ibnu Muzahim ‘Amir Asy-Sjabi (pendidik putra-putra Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan), Muhammad Ibnu Muslim Az Zuhri (pendidik Ibnu Hisyam Ibnu ‘Abdil Malik), Abdus Shomad Ibnu ’Abdil A’la (pendidik Al-Walid Ibnu Zaid), dan masih banyak lagi.
            Taraf ekonomi muaddib sangatlah makmur dan tercukupi baik bagi dirinya maupun untuk menopang keluarganya selain gaji pokok yang di terimanaya muaddib juga banyak yang diberikan tempat tinggal, bintang ternak, pelayan, budak dan lain sebagainya sehingga taraf ekonominya terjamin dan terpenuhi, menurut riwayat yang ada rata-rata gaji muaddib sebulannya itu berjumlah seribu dirham.[7]           
4.      Murrabi
Pada era klasik ada juga pendidik yang disebut dengan murrabi. Murrabi ini lebih cenderung pada guru yang mengemban amanat yang diberikan oleh masyarakat guna melaksanakan fungsi pendidikan. Pemberian amanat masyarakat tersebut tidak hanya berorientasi pada transformasi ilmu pengetahuan (menghafal beberapa materi pelajaran), tetapi juga sebagai  murabbi dan sebagai dinamisator masyarakat. Sebagai murabbi ia bertanggungjawab memantau perkembangan kepribaadian anak dari segala dimensinya sedangkan sebagai dinamisator masyarakat ia bertanggungjawab memberikan pelajaran yang baik, membangkitkan merekaa dan mengangkat derajat mereka kearah yang lebih baik.[8]

B.       Karakteristik Pendidik
Abdurrahman Al-Nahwawi menyarankan agar guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, ia harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.      Tingkah laku dan pola pikir guru bersifat rabbani, hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam surat al-Imran ayat 79. Jika guru telah memiliki, sifat rabbani, maka tujuan pendidikan menjadi optimal karena guru dapat mengantarkan anak didiknya mencapai ketaatan yang lahir dari pproses pembentukan kesadaran.
2.      Guru harus ikhlas.
3.      Guru sabar dalam mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada anak-anak.
4.      Guru jujur dalam menyampaikan apa yang diserukannya.
5.      Guru senantiasa membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan dan bersedia untuk meningkatkan kualitas pribadinya.
6.      Guru mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi dan mampu memilih metode sesuai dengan kebutuhan anak.
7.      Guru mampu mengelola siswa, tegas bertidnak serta meletakan berbagai permasalahan secara profesional.
8.      Guru mempelajari kehidupan psikis anak selaras dengan tingkat usia perkembangannya, sehingga ia dapat memperlakukan siswa, sesuai dengan kemampuan akal dan kesiapan psikis mereka.
9.      Guru tanggap terhadap berbagi kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhin perkembangan jiwa anak, sehingga ia dapat memahami dan mampu bertindak pada saat menghadapai berbagai problem akibat modernitas.


Dalam kitab adap al-Muallim wa al-muta’alim disebutkan bahwa seroang pendidik harus memiliki 12 sifat sebagai berikut:
1.      Tujuan mengajar adalah untuk mendapatkan kerihdoan Allah ta’ala, bukan untuk tujuan yang bersifat duniawi, harta, kepangkatan, ketenaran, kemewahan dan lain sebagainya.
2.      Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan terang terangan dan senantiasa menjaga rasa takut dalam semua gerak dan diamnya, ucapan dan perbuatanya, karena dia adalah seorang yang diberi amanat dengan diberikannya ilmu oleh Allah dan kejernihan panca indra dan penalarannya.
3.      Menjaga kesucian ilmu yang dimilikinya dari perbuatan yang tercela.
4.      Berakhlak dengan sifat zuhud dan tidak berlebih-lebihan dalam urusan duniawi, kona’ah, dan sederhana.
5.      Menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela.
6.      Melaksanankan syariat islam dengan sebaik-baiknya.
7.      Melaksanakan amalan yang disyariatkan.
8.      Memelihara kesucian lahir dan batinnya dari akhlak yang tercela.
9.      Senantiasa semangat dalam menambah ilmu dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.


10.  Senantiasa memberikan manfaat kepada siapapun.
11.  Aktif dalam pengumpulan bacaan, mengarang dan menulis buku.[9]

C.      Fungsi Pendidik
Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaanya mempunyai andil yang besar dalam kekuasan khalifah. Hal ini tampaknya tidak terlalu berlebihan, karena guru terhimpun dalam suatu organisais yang mempunyai power yang dapat mengendalikan kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar disuatu masjid. Abu Syamah (dalam A. Syalabi 1973: 277), menyatakan “syarikat gurulah berhak untuk menentukan dan memberikan izin kepada seorang guru untuk menjadi pengajar di sebuah masjid walaupun khalifah mempunyai kekuasaan. Namun, dalam hal pemberian izin khalifah meminta pertimbangan dan persetujuan kepada syariat”.
Sekalipun organisasi guru pada saat itu belum tertata rapi sedemikian rupa sebagaimana lazimnya sebuah organisasi, tapi keberadaanya mempunyai andil yang besar dalam sebuah pemerintahan, dan bahkan organisasi guru dapat dijadikan corong untuk menyebarkan ajar atau aliran oleh penguasa. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masa Daulah Fatimiyah, organisasi guru “ Dai Daulah” mampu memainkan peran membantu pemerintah dalam menyebarkan aliran atau ajaran yang diyakini oleh penguasa pada saat itu. [10]

D.      Gaji Pendidik
Masa klasik bermula pada masa Rasulullah. Pada masa Rasulullah penddidikan masih terpusat pada Rasululah, dan Rasulullah tidak memungut biaya ataupun mendapat gaji atas ilmu yang diajarkanya. Sejarah menjelaskan kepada kita bahwa pendidik khususnya pada masa Rasulullah dan para sahabat bukan merupakan profesi atau pekerjaan untuk menghasilkan uang atau sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupanya, melainkan ia mengajar, karena panggilan agama, yaitu sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mengharapkan keridhoan-Nya, menghidupkan agama, mengembangkan seruanya, dan menggantikan peranan Rasulullah.[11]

Setelah masa Rasulullah datanglah masa Khulafa’urrasyidin. Pendidikan masa Abu Bakar as-Shidiq (632-634 M) tidak jauh berbeda dengan masa Rasulullah,   dengan   guru-guru   dari  para   sahabat   terdekat   Rasulullah   dan   tidak   digaji   (Nizar, 2007:45).[12] Pada masa khalifah Umar guru-guru sudah diangkat dan digaji untuk mrngajar kedaerah-daerah yang baru ditaklukkan. Akan tetapi pendidik lainya tidak dibayar.
Ketika masa Khulafa’ur Rasyidin berakhir, Islam diperintahkan oleh Bani Ummayah. Dan Masa Umyyah pendidik mengalami kemajuan.
Dalam memberikan pelajaran dengan sistem kuttab pada masa Khulafa’aur Rasyidin gurunya tidak dibayar, akan tetapi pada Masa Dinasti Umayah lain lagi ceritanya. Pada periode ini berbagai kemajuan telah diperoleh, termasuk dalam bidang perekonomian.[13]
Dinasti Umayah Diantara mereka ada yang sukarela melakukan perjalanan jauh untuk mengajarkan ilmu kepada rakyat. Mereka memilih masjid sebagai tempat yang strategis untuk mengajar dan rakyat pun meresponnya dengan positif, mereka dengan semangat mengikuti pelajaran yang sedang diberikan sang guru. Para guru mengajarkan apa saja ilmu yang merektau, selain itu mereka juga memberi fatwa mengenai apa saja yang dapat diberikannya. Kegiatan ini tidak termasuk dalam lingkungan kekuasaan dan campur tangan pemerintah, selama guru-guru tidak ditunjuk dan di angkat oleh pemerintah, serta tidak mengharapkan gaji dari negara maka mereka bebas melakukan pengajaran kepada rakyat. [14]

Pendidik Masa Abasiyyah juga demikian. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara. Seperti lembaga pendidikan Nizamiyah yang pernah didirikan pada masa dinasti Abbasiyah dan lain sebagainya, ditopang oleh subsidi yang berasal dari hasil pengumpulan zakat harta yang menjadi salah satu ajaran Islam yang disyari’atkan. Artinya kondisi yang demikian itu memang menuntut untuk mengalokasikan dana khusus dari baitul mal untuk kepentingan pendidikan.[15]
Para pendidik sudah mendapat gaji dari Pemerintah. Akan tetapi, ada juga pendidik biasa yang mendapat gaji dari biaya muridnya, meskipun bisa berupa barang. Pada Masa keemasan ini, banyak bermunculan pendidik, yang mana terkadang beberapa diantaranya digaji oleh pemerintah, ada pula yang dari muridnya, dan bahkan ada juga yang tidak mendapatkan gaji.
Dalam periode klasik, hubungan guru dengan murid dikatakan mengesankan. Hubungan guru dan murid tidak hanya sebatas yang berkaitan dengan transmisi keilmuan dan pembentukan perilaku si murid. Sangat besar perhatian guru kepada murid-muridnya. Tak jarang guru menanyakan kepada mereka bila ia melihat salah satu muridnya tidak mengikuti pelajaran dan bertanya di mana ia harus menjenguk muridnya jika ia sakit. Lebih dari itu, guru juga sering memberi bantuan kepada murid-murid yang membutuhkannya.
Pada periode Klasik, guru bisa meminta gaji dari murid-muridnya. Jumlah gaji terserah kepada setiap anak didiknya, tergantung kepada kemampuan orang tua si murid. Secara umum gaji guru dapat dibagi ke dalam dua macam, yaitu gaji yang berhubungan dengan waktu dengan gaji yang berhubungan dengan pelajaran yang didapat oleh si anak. Bentuk gaji yang pertama hampir dibayar oleh semua murid, yaitu berupa sejumlah kecil uang yang dibayarkan setiap minggu atau setiap bulann ditambah sepotong roti yang diberikan setiap minggu.[16]


E.     Perubahan Pendidik.
Pendidik masa klasik bermula dari masa Rasulullah hingga masa keemasan Islam. Masa klasik ini terdapat beberapa periode. Berikut adalah periode-periode tersebut:
·         Masa hidupnya Nabi Muhammad SAW(571-623M).
·         Masa hidupnya Kulafa’urrasyidin (632-661M).
·         Masa hidupnya Daullah Umayyah di Damsyik (661-750M).
·         Masa hidupnya Daulah Abbasiyah di Bagdad (750-1250M).

·         Masa Nabi Muhammad
Pendidi dari periode ke periode juga turut mengalami perubahan. Sistem pedidikan pada masa Rasulullah baik di Mekkah maupun di madinah masih bertumpu pada Rasullulah. Pada masa itu tidak ada orang lain yang menentukan, mengatur pendidikan yang disampaikan oleh Rasulullah.
·         Masa Kulafaurasyidin
          Pendidikan dan pendidi pada masa khulafaurasyidin sudah sedikit mengalami perubahan. Jika pada masa Rasullulah pendidikan berumpu pada Rasulullah saka, maka pendidikan pada masa Khulafa’ur Rasyidin, sahabat-sahabat lain dan para ulama. Bahkan, pada masa ini Khulafaur Rasyidin mengirim pendidik atau guru ke kota-kota lain. Guru-guru yang dikirim adalah para ahli tafsir hadits dan fiqh.
·         Masa Dinasti Umayyah
Pada masa Dinasti Umayyah pendidik sudah semakin banyak, seriring berkembangnya ilmu pengetahuan. Banyak para guru dan ulama besar, bahkan pada saat itu dibangun universitas, sehingga membuka banyak peluang para guru ataupun ilmuwan. Karena adanya ilmi-ilmu kedokteran, filsafat, astronomi, dll, banyak para guru (ilmuwan ) yang datang dari ujung timur dan barat dengan membawa buku-buku. Selain itu masih banyak lagi ilmuwan dan cendekiawan pada masa ini.
·         Masa Dinasti Abbasiyah
Pendidikan masa Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Pendidik tidak hanyaa saja berada di kuttab, masjid, ataupun universitas. Tapi pendidik juga ada di asrama ataupun rumah mereka sendiri.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pendidik ada beberapa macam diantaranya; ustadz, mudarris, mu’allim dan mu’addib.
2.      Pendidik harus memiliki karakteristik tertentu.
3.      Fungsi pendidik adalah mentransformasikan ilmu, mendidik, dan membantu kehidupan dalam masyarakat.
4.      Gaji pendidik masa klasik tidak menjadi prioritas. Akan tetapi gaji diberikan oleh pemerintahan ataupun murid dengan suka rela.
5.      Perkembangan pendidik selalu berubah seiring dengan berkembang dan berjalannya waktu. Ada banyak perubahan yang terjadi setiap masannya.






















Daftar Pustaka

Abudin Nata. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Raja Graindo Persada. 2004.
Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenda Media Group. 2007.
Suwito dan Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005.






[1] Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005),hlm.1.
[2] Suwito., op.cit., hlm.1.
[4] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Graindo Persada, 2004), hlm.147-148.
[5] Abudin Nata, op.cit.  hlm.142-143.
[6] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 61.
[8] Abudin Nata, op.cit. hlm., 143.

[9] Suwito dan Fauzan, op.cit. hlm. 3.
[10] Abudin Nata., op.cit, hlm. 152-153.
[11] Suwito, op.cit. hlm 3.
[13] Sasul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 51-61.